Tuesday 4 November 2014

Ombak

gulungan ombak itu terus datang dan datang terus menerus,gemuruhnya membuat  telingaku tuli untuk mendengarnya,lalu jemariku memainkan pasir lembut itu , pasir yang  terus membuatku mengingat kisah di rumah itu, kisah saat aku tertusuk belati wanita yang kini entah membangun kembali rumah tua yang kini kutinggalkan.


kini aku berada di sebuah pantai dan memandangi matahari di ujung laut,matahari  yang seakan membangunkanku bahwa kemarin adalah mimpi,mimpi yang tak seharusnya aku impikan,aku tahu seadainya kemarin memang benar adalah sebuah mimpi,maka mungkin aku akan memilih untuk terus tertidur dan melanjutkan mimpi itu,namun kemarin bukan mimpi kawan,kemarin adalah kenyataan paling berisik yang harus aku redam.

aku duduk diatas sebuah bongkahan batu besar,gulungan ombak itu menyentuh kakiku,kupadang langit sedikit terang,hmmm kini awan badai itu perlahan menghilang,badai yang dulu pernah akan membuatku mati,mati konyol di depan sebuah pintu,pintu dari rumah yang seharusnya aku bangun,siapalah aku?pujangga pun takan mengijinkanku untuk menulis puisi untuknya,sudahlah mungkin aku harus menerima kenyataan bahwa,aku memang pantas terdampar di dipantai.

kini aku memang berada jauh,sangat jauh dari rumah itu,lalu kupandangkan padanganku menoleh kebelakang,aku melihat sebuah sepatu,lalu kuraih sepatu itu,kupandangi lalu hatiku bergetar,sepatu yang itu kusam,tak bertali,robek,dan penuh dengan pasir,aku ingat sepatu itu adalah sepatu yang dulu pernah aku coba untuk kumiliki,namun tak kutemukan pasangan dari sepatu itu,kucari-cari tak juga ketemukan,lalu  padanganku terkunci pada luasnya lautan,ya! sepatu itu mengapung dilautan ,menjauh ,dan hampir ditelan ombak,lalu kulihat sepatu ditanganku,sepatu itu seakan mengatakan padaku bahwa "lemparkan aku kelautan,meskipun aku tetap di daratan itu tak berarti untukmu"lalu kulemparkan jauh,jauh..sangat jauh..sampai melewati ombak yang menggulung.


lalu aku kembali duduk di batu besar itu,ombak-ombak itu masih menyentuh kakiku,ombak-ombak itu terus menyanyikan sebuah nada gemuruh yang membuatku tetap tuli,lalu kupenjamkan mataku,perlahan aku mampu mendengar gemuruh itu,kunikmati suara itu,perlahan aku mampu menikmati gemuruh ombak,sayup-sayup gemuruh ombak seperti berirama,lalu angin mengibaskan rambutku yang terurai,kubuka matakku lalu aku tersadar akan satu hal bahwa ketika kita menolak sebuah kenyataan,kenyataan yang membuat telinga kita menjadi tuli,kenyataan yang tak ingin kita dengar,lalu pada akhirnya kita harus sadar ,kita harus menerima ,dan mencoba menikmati keadaan saat ini.aku harus menikmati keadaan bagaimana sepinya terdampar di pantai,meskipun kakiku berpijak pada pasir yang begitu banyak,namun pasir yang aku bawa dari rumah itu kini hilang,botol kecil itu pecah saat wanita itu menusukan belatinya.

aku berdiri,ku dekatkan kedua tanganku tepat dimulutku dan aku berteriak
 "hei matahari...kau sangat terang,cahayamu membawaku kesini,tapi apa kamu tahu matahari,ditempat yang pernah kusinggahi ternyata tak pernah kutemui dirimu,apa kau tak mampu menerangi tempat itu?"
lalu matahari seakan menjawab pertanyaanku bahwa
 "aku bukan tak menerangi tempat itu,tapi tempat itu sangat sulit cahayaku untuk dapat masuk kesana,lalu kenapa kau mampu mengikuti cahayaku sementara cahayaku sedikipun tak ada disana?"
aku terdiam dan tertunduk,lalu aku menjawab
 "aku berjalan,dan terus berjalan lalu kumelihat diujung sana cahaya dan ternyata cahaya itu membawaku ke lautan,lautan yang sangat sepi'"
"sepi katamu?bukankah kau hampir mati di tempat gelap itu?apakah kau tak sadar bahwa harapan sama sekali tak nampak disana?"
"apa itu karna disana tak ada cahaya matahari?"
"mungkin..."
"lalu sekarang apa yang harus aku lakukan?"
"tetaplah duduk,dan dengarkan ombak-ombak ini,lalu teruslah lihat aku,pada suatu masa akan datang sebuah perahu di depanku,tunggulah ,perahu itu akan membawa harapan baru,jangan kau bangun rumah tua yang hampir runtuh ,sekarang jangan pernah menggenggam pasir dengan tanganmu lagi''
"baiklah"
aku pun tersenyum dan aku kembali duduk di bongkahan batu itu,ombak-ombak itu terus menggelitik telapak kakiku,lalu kepejamkan mataku ...




No comments:

Post a Comment